BANTUL – Keberadaan Bank Syariah di Indonesia, belum
mampu menjawab keraguan ummat Islam yang mengharapkan bebas dari unsur
riba. Bahkan, dalam praktiknya Bank Syariah dinilai banyak melenceng
dari nilai-nilai syariat itu sendiri.
“Jadi lembaganya yang syariah sekarang ini ibarat bapak-bapak ibu di
rumah shalat jamak, shalat jamak, kondisinya di rumah, dan ada air, tapi
tayamum. Wis ngono wae, sah apa tidak,” kata pengasuh Pondok Pesantrean
(PP) Amumarta, Jejeran, KH. HM. Djawis Masruri saat memberi sambutan
dalam acara Majelis Tasyakur 1 Tahun Bank Islam Institute (BAITI),
sekaligus launching buku “Sistem Bank IRBA’ di Kompleks PP Amumarta,
Jejeran, Pleret, Bantul, Mingggu (29/05/2016).
Dijelaskan Kyai Djawis, dasar rujukan Bank Syariah saat ini dari Al
Quran, surat Al-Baqarah ayat 283. Menurutnya, dalam ayat itu, menurut
tafsir As Syafi’i disebut bahwa; “Kalau kamu dalam keadaan bepergian,
dan di sana tidak menemukan
Katib (penulis, red), maka kamu diberbolehkan bertransaksi dengan
rohnun (dengan jaminan). Namun rujukan tersebut mengabaikan ayat sebelumnya yang justru bernilai wajib.
“Sebelum ayat itu ayat 282 Allah mewajibkan, menurut tafsir as syafi’i, kalau bermuamalah itu tidak dengan
rohnun tapi dengan
katib dan
syahid.
Katib dan
syahid jatuhnya hukum wajib,
rohnun
jatuhnya itu dibolehkan. Manakala tidak menemukan bank yang wajib ini,
dan dalam kondisi bepergian,” tutur Kyai Djawis yang pendiri BAITI.
Kyai Djarwis juga menilai payung hukum Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, merupakan
ijtihad yang keliru. Munculnya UU tersebut, kata dia, bermula paska
Pemilu 1997, karena Bank Indonesia (BI) didesak oleh Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah, serta organisasi-organisasi Islam yang lainnya.
Deskan itu semakin masih setelah reformasi 1998.
“Salah satu tuntutan reformasi itu adalah bagaimana orang Islam bisa
bermualah dengan ajaran yang diyakininya benar. BI Belum punya payung
hukum pada waktu itu. Karena tuntutan begitu menggelagar dan masif,
akhirnya BI berupaya merumuskan dengan cara memohon kepada MUI (Majelis
Ulama Indonesia, red) dan MUI melakukan tiga hari lokakarya, itu lho.
Tiga kali, tiga hari lokakarya baru merumuskan,” ujarnya.
Referensi yang dipakai MUI, kata Kyai Djawis, itu adalah dari
rule
(aturan) Bank di mesir dan Bank syariah Pakistan, yang merupakan
ijtihad dari para cendikiawan, pada kisaran tahun 1970. Reverensi
tersebut menurutnya banyak mengacu pada Al Qur’an Surat Al Baqarah 283,
dengan mengabaikan ayat sebelumnya (282).
“Nah,
ijtihad mereka yang salah itu sekarang akan diobati Malaysia sebagai negara tempat salahnya ber-
ijtihad.
Besok oktober akan mengundang seluruh cendekiawan muslim dunia, ulama
dan seterusnya. Dan insya Allah BAITI ada undangan dari sana untuk bcara
di sana, di tingkat dunia, bagaimana rumusan ekonomi Islam, bukan lagi
syariah . bukan lagi syariah, ya sekali lagi,” tukasnya.
Kyai Djawis menambahkan, Saudi Arabia adalah negara yang tdak mau
menggunakan konsep syariah. Bank- Bank di Saudi adalah bank Islam,
sama seperti yang digagas dan dirumuskan oleh BAITI dengan sistem Bank
IRBA'.
“Bahasa saya, bank syariah yang ada sekarang ini harus dirumuskan kembali,” imbuhnya.
(kt1)